NAMA : ANISA RIZKY AMALIA
KELAS : 4EA06
NPM : 10211925
Analisis Kasus Penyimpangan Etika Bisnis (Studi Kasus : PT. Lapindo Brantas, Sidoarjo)
Banjir lumpur panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo, merupakan
peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di
Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur, sejak 29 Mei 2006. Tragedi “Lumpur Lapindo” dimulai pada tanggal 27 Mei
2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedy ketika banjir lumpur panas mulai
menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industry. Hal ini
memberikan akibat buruk bagi warga sekitar seperti :
1.
Genangan lumpur setinggi 6 meter pada pemukiman
2.
Total warga yang di evakuasi lebih dari 8.200
jiwa
3.
Rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683
unit
4.
Areal pertanian dan perkebunan rusak hingga
lebih dari 200 ha
5. Lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan
aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang
6.
Tidak berfungsinya sarana pendidikan
7.
Kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi
8.
Rusakknya sarana dan prasarana infrastruktur
(jaringan listrik dan telepon)
9.
Terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang
berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan
Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industry utama di Jawa Timur
Analisis
Dari Segi Etika Bisnis Mengenai Lumpur Lapindo :
Dari uraian kasus diatas diketahui
bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan penyebab utama
meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo malah berdalih
dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa
yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas jelas telah melanggar etika dalam
berbisinis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang
berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar
yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan social.
Eksploitasi besar-besaran yang
dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela menghalalkan segala
cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung
jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi asset-aset
mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas kerusakan lingkungan
dan social yang mereka timbulkan.
Hal yang dilakukan oleh PT. Lapindo
telah melanggar prinsip-prinsip etika yang ada. Prinsip mengenai hak dan
deontology yang menekankan bahwa tiap manusia berhak atas lingkungan
berkualitas, akan tetapi dengan adanya perisyiwa lumpur panas tersebut, warga
justru mengalami dampak kualitas lingkungan yang buruk. Sedangkan perspektif
utilitarisme menegaskan bahwa lingkungan hidup tidak lagi boleh diperlakukan
sebagai suatu eksternalitas ekonomis. Jika dampak atas lingkungan tidak
diperhitungkan dalam biaya manfaat, pendekatan ini menjadi tidak etis apalagi
jika kerusakan lingkungan dibebankan pada orang lain. Akan tetapi, dalam kasus
ini PT. Lapindo justru mengeruk sumber daya alam di Sidoarjo untuk kepentingan
ekonomis semata, dan cenderung kurang melakukan pemeliharaan terhadap alam,
yang dibuktikan dengan pengehematan biaya operasional pada pemasangan chasing,
sehingga menimbulkan bencana yang besar.
Prinsip etika bisnis mengenai
keadilan distributive juga dilanggar oleh PT. Lapindo, karena perusahaan tidak
bertindak adil dalam hal persamaan, prinsip penghematan adil dan keadilan
social. PT. Lapindo pun dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesame
manusia atau lingkungan, karena menganngap peristiwa tersebut merupakan bencana
alam yang kemudian dijadikan alas an perusahaan untuk lepas tanggung jawab.
Dengan segala tindakan yang dilakukan oleh PT. Lapindo secara otomatis juga
berarti telah melanggar etika kebajikan.
Hal ini membuktikan bahwa etika
berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan akan sangat mempengaruhi
kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala macam bentuk pengabdian etika dalam
berbisnis akan mengancam kemanan dan kelangsungan perusahaan itu sendiri.
source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar